![]() |
Gambar ilustrasi |
TANGERANG.BERITATANGERANG.CO.ID - Dulu, orang-orang membayangkan setan sebagai makhluk menyeramkan. Bertanduk, bermata merah, tertawa mengerikan, datang dengan bau menyengat dan aura gelap. Tapi hari ini, gambaran itu sudah terlalu kuno. Setan tak perlu lagi menakutkan. Ia bisa hadir dengan wujud yang biasa saja. Bahkan, kadang terasa akrab. Seringkali justru menyenangkan.
Setan zaman sekarang tak perlu muncul di pojok kamar saat lampu dimatikan. Ia cukup nongol lewat gawai yang kamu genggam hampir 24 jam. Bukan lewat bisikan di telinga, tapi lewat konten, tren, dan opini-opini yang terasa keren.
Ia tak lagi menawarkan dosa secara vulgar, tapi membungkusnya dengan narasi yang bisa diterima.
Zina dibungkus dengan kata “cinta yang tulus.”
Pamer dibungkus sebagai “inspirasi.”
Kebohongan dianggap bagian dari “strategi bertahan hidup.”
Dan yang paling laris , malas beribadah dibungkus dengan alasan “sedang lelah, kesehatan mental juga penting.”
Setan zaman Now itu tak perlu mendorong orang untuk membunuh atau mencuri. Cukup membuat mereka sibuk. Sibuk mengejar validasi sosial, sibuk membandingkan hidupnya dengan orang lain, sibuk mempertahankan citra, sampai lupa bahwa hidup ini sebenarnya singkat dan bukan sekadar tentang eksistensi online.
Ia tahu manusia modern gampang bosan tapi juga gampang terlena. Maka ia tak memaksa. Cukup menunggu. Sabar. Pelan-pelan menggiring kita menjauh dari nurani, dari rasa peduli, dari kesadaran bahwa hidup bukan cuma soal hari ini.
Setan juga tahu cara terbaik membuat manusia jatuh bukan lewat dosa besar. Tapi dari kebiasaan kecil yang diulang terus-menerus. Bangun tidur, bukannya bersyukur atau menyapa orang tua, yang dicari notifikasi. Scroll 1 jam, terus telat kerja. Bohong ke atasan, "tadi macet." Sepanjang hari kerja setengah hati, lalu pulang dengan kepala penuh konten-konten kosong.
Belum lagi soal ibadah ,mungkin begini kira kira kata setan ,“Gak apa-apa lah tinggalin satu kali, toh nanti bisa diganti.”
Lalu besoknya satu kali lagi. Dan lagi. Sampai akhirnya hilang sama sekali.
Dan kita tetap bilang,“Nanti-nanti deh, gue masih muda.”
Di titik ini, setan tersenyum. Ia tak perlu bersusah payah. Manusia sendiri yang jalan, sambil membawa dosa kecil dalam saku, yang lama-lama jadi beban besar. Tapi tetap merasa tidak apa-apa. Karena semua orang juga begitu, kan?
Dan memang itulah siasat terbaiknya: membuat dosa terasa wajar, membuat keburukan jadi bagian dari keseharian, membuat manusia merasa tidak perlu berubah.
Kadang, kita menyalahkan setan atas semua kesalahan kita. Tapi sejujurnya, ia hanya menawarkan. Kitalah yang mengambil. Ia hanya membisiki. Kitalah yang percaya.
Redaksi 03.31 WIB