![]() |
Gambar ilustrasi |
TANGERANG.BERITATANGERANG.CO.ID – Di negeri ini, usia seolah jadi mata uang yang menentukan nasib. Terlalu muda? Maaf, belum waktunya. Terlalu tua? Silakan minggir, sudah lewat masanya. Ironis, karena di tengah gembar-gembor tentang "kesetaraan" dan "kompetensi", justru angka di akta lahir yang lebih berkuasa.
Contohnya dalam Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) sekarang Sistim Penerimaan Murid Baru(SPMB). Seorang anak di Kota Tangerang yang usianya tujuh tahun lebih beberapa hari, harus rela tersingkir. Alasannya sederhana: kalah tua. Padahal secara kesiapan mental dan kemampuan, si anak tak kalah dengan yang lain. Tapi sistem berkata lain—umur adalah kunci.
Sebaliknya, dalam dunia kerja, yang berumur dianggap usang. Banyak pelamar berusia 35 tahun ke atas, dengan segudang pengalaman dan loyalitas, justru tak dilirik. “Kami butuh yang muda, energik,” begitu alasan yang sering terdengar. Lagi-lagi, soal umur.
Dua sisi ironi:
Anak kecil kalah masuk SD karena kurang tua.
Orang dewasa kalah masuk kerja karena terlalu tua.
Sistem seperti ini menyisakan pertanyaan mendasar: apa sebenarnya ukuran kemampuan dan kelayakan?
Di level pendidikan, kebijakan seharusnya melihat kesiapan kognitif dan psikologis anak, bukan sekadar angka. Di dunia kerja, semestinya yang dinilai adalah keterampilan, etos, dan karakter, bukan keriput di wajah atau tahun kelulusan.
Yang muda memang perlu ruang, tapi yang tua juga pantas dihargai. Indonesia tak akan maju bila terus menyingkirkan satu pihak hanya karena tak cocok di kalender.
Bukankah keadilan itu ketika semua diberi kesempatan, tanpa diskriminasi umur?
Jfr/Redaksi BeritaTangerang.co.id