![]() |
Gambar ilustrasi |
TANGERANG.BERITATANGERANG.CO.ID - Kekerasan terhadap wartawan bukan hanya penghinaan terhadap profesi, melainkan pengkhianatan terhadap demokrasi.
Padahal, pekerjaan wartawan jelas dilindungi Undang-Undang Pers. Jika ada pemberitaan yang dianggap tidak adil, jalannya sudah diatur,gunakan hak jawab. Namun sayangnya, mekanisme itu jarang dipilih. Mengapa? Karena hak jawab butuh argumentasi, butuh data, dan bisa membuka borok yang selama ini ditutup rapat. Maka dipilihlah cara biadab yaitu kekerasan.
Kita patut geram, karena dugaan pelakunya justru aparat yang seharusnya melindungi. Brimob yang dilatih untuk menjaga keamanan negara ternyata tega menghajar wartawan. Ini bukan hanya mencoreng institusi, tetapi juga meruntuhkan kepercayaan publik. Jika aparat bisa semaunya menggebuk wartawan, lalu kepada siapa rakyat harus percaya?
Kasus ini jangan berhenti di permintaan maaf atau mutasi. Harus ada proses hukum yang nyata, transparan, dan tuntas. Pelaku harus dihukum seberat-beratnya, bukan sekadar "diamankan" untuk meredam amarah publik. Wartawan tidak boleh lagi menjadi bulan-bulanan setiap kali ada pihak yang merasa terusik.
Membungkam pers dengan teror adalah tindakan pengecut. Pers bekerja untuk publik, bukan untuk dirinya sendiri. Jika wartawan dipukul, itu sama saja dengan memukul hak masyarakat untuk tahu. Jika wartawan dibungkam, maka yang dibungkam adalah suara kebenaran.
Negara tidak boleh berkompromi. Kasus Jawilan harus menjadi titik balik, Stop kekerasan terhadap Pers! Sebab tanpa pers yang bebas, rakyat hanya akan dijejali kebohongan dan manipulasi.
Penulis : Jfr
Sekjen SMSI Kota Tangerang