Notification

×

Iklan

Iklan

Ketika SPMB SD Negeri di Kota Tangerang Lebih Pilih Usia Lebih Tua Bukan Kesiapan Anak

Minggu, 15 Juni 2025 | 10.28.00 WIB Last Updated 2025-06-15T04:15:04Z

Ketika SPMB SD Negeri di Kota Tangerang Lebih Pilih Usia Lebih Tua Bukan Kesiapan Anak
Gambar Ilusterasi 

TANGERANG.BERITATANGERANG.CO.ID
- Di Kota Tangerang, bukan soal pintar atau siap sekolah yang jadi pertimbangan utama dalam penerimaan murid SD negeri. Tapi soal umur. Dalam Sistem Penerimaan Murid Baru (SPMB) 2025 , sejumlah orang tua dibuat kecewa karena anaknya tersingkir bukan karena kurang mampu, tapi karena kalah beberapa bulan dari anak lain yang lebih “tua”.


Kasus terbaru, seorang anak yang sudah berusia 7 tahun lebih beberapa hari tidak masuk seleksi sekolah negeri karena ada peserta lain yang umurnya 7 tahun lima bulan. Secara aturan, memang usia minimal masuk SD adalah 6 tahun, dan diutamakan 7 tahun, sesuai Permendikbud Nomor 1 Tahun 2021.


Tapi praktik di lapangan, terutama di sekolah-sekolah negeri favorit, seleksi dilakukan murni berdasarkan skor usia,semakin tua, semakin besar peluang diterima. Maka, anak usia 7 tahun 0 bulan bisa kalah dari yang 7 tahun 5 bulan. Selisih beberapa minggu bisa berarti kehilangan kursi.


Hal ini menimbulkan tanda tanya besar apakah sistem pendidikan dasar masih punya hati untuk melihat kesiapan anak dari aspek kemampuan, atau hanya terpaku pada angka di akta kelahiran?


Ketika anak sudah mampu membaca, menulis, dan berhitung tapi harus menunggu tahun depan atau masuk sekolah swasta, sistem ini menjadi tidak adil. Terutama bagi keluarga yang kurang mampu secara ekonomi.


Fenomena diskriminasi usia ini tidak hanya terjadi di bangku sekolah. Di dunia kerja pun, usia masih menjadi penghalang yang nyata. Di Iklan lowongan kerja masih banyak mencantumkan batas usia maksimal—27, 30, atau 35 tahun. Padahal banyak pencari kerja berusia di atas itu yang masih sehat, punya semangat tinggi, bahkan lebih berpengalaman. Tapi semua itu tidak ada artinya jika umur di KTP dianggap terlalu tua.


Masalahnya, hingga kini belum ada regulasi yang tegas melarang batasan usia dalam rekrutmen kerja di sektor swasta. Pemerintah pusat seolah membiarkan perusahaan menetapkan syarat sesuka hati, sementara pemerintah daerah belum cukup progresif mendorong kesetaraan peluang kerja bagi semua umur. Jadilah diskriminasi usia ini seperti benang merah yang menghubungkan pendidikan dan ketenagakerjaan: anak kecil bisa kalah karena kurang tua, dan orang dewasa bisa ditolak karena dianggap terlalu tua.


Sudah waktunya regulasi nasional ditinjau ulang. Dan di saat yang sama, pemerintah daerah seperti Kota Tangerang perlu mengambil langkah afirmatif. Pendidikan dasar semestinya terbuka bagi semua anak yang siap belajar, bukan hanya yang memenuhi skor usia. Dunia kerja juga harus memberi ruang lebih luas bagi mereka yang masih ingin dan mampu bekerja, terlepas dari umur.


Karena kalau usia terus dijadikan alasan untuk menyingkirkan orang, maka sejak kecil hingga dewasa, warga akan tumbuh dalam rasa dikalahkan bahkan sebelum mereka sempat membuktikan diri.



Jfr