![]() |
| Gambar ilustrasi |
TANGERANG,BERITATANGERANG.CO.ID - Pernah dengar istilah, “mobil yang sudah dimodif tidak diterima dealer”? Kalimat itu sering jadi candaan di kalangan pecinta otomotif. Dealer menolak mobil yang sudah diubah dari bentuk aslinya, karena tak lagi sesuai dengan standar pabrikan.
Tapi kalau dipikir lebih jauh, ada makna reflektif di balik analogi itu.
Bagaimana jika yang “dimodifikasi” bukan mobil, melainkan manusia?
Apakah Tuhan Sang Pencipta akan tetap menerima ciptaan-Nya yang telah diubah bentuknya?
Di era modern, operasi plastik atau plastic surgery sudah jadi hal lumrah. Alasannya beragam: ingin tampil lebih cantik, ingin terlihat sempurna, atau sekadar merasa lebih percaya diri. Namun di sisi lain, sebagian orang menilai bahwa tindakan itu adalah bentuk penolakan terhadap ciptaan Tuhan.
Dalam Al-Qur’an, Allah mengutip perkataan setan yang bertekad menyesatkan manusia:
“Dan akan aku suruh mereka (manusia), lalu mereka benar-benar akan mengubah ciptaan Allah.”
(QS. An-Nisa: 119)
Rasulullah SAW pun memperingatkan dalam hadis riwayat Bukhari-Muslim,
bahwa Allah melaknat mereka yang mengubah bentuk tubuhnya demi kecantikan semata karena hal itu berarti menolak kesempurnaan ciptaan-Nya.
Namun tentu tidak semua perubahan fisik dipandang dosa.
Islam memberi ruang bagi perubahan yang dilakukan untuk pengobatan atau memperbaiki cacat, seperti operasi akibat kecelakaan atau lahir dengan kondisi tertentu.
Yang dinilai bukan tindakan luarnya, tapi niat dan tujuannya.
Jadi, kalau dealer menolak mobil yang dimodif karena rusak dari bentuk aslinya, Tuhan tidak serta-merta menolak manusia yang berubah.
Yang dinilai bukan tampilannya, tapi arah hatinya. Mungkin, yang paling penting bukan bentuk hidung yang mancung atau pesek, tapi seberapa “lurus” hati kita menerima diri apa adanya. Sebab keindahan sejati bukan dari wajah yang diubah, tapi dari jiwa yang bersyukur atas desain Sang Pencipta.
Red

