![]() |
Gambar ilustrasi |
BERITATANGERANG.CO.ID - Jika setiap orang disarankan oleh seorang bijak untuk menganut ideologi, maka bagi penerasi sekedar menyarankan paradigma sudah cukup. Pandangan hidup manusia yang paling tepat adalah pengabdian kepada Tuhan.
Satu, bersegera dalam kebaikan.
Menjadibagian dari kebiasaan orang salih terdahulu yang patut ditiru adalah bersegera dalam kebaikan. Mereka terbiasa selesai dari satu amalan segera beralih kepada amalan salih lainnya, sekaligus menghindari perbuatan sia-sia. Kebiasaan ini membentuk pribadi yang terjaga dari kelalaian dan mampu memanfaatkan waktu untuk hal-hal yang bermanfaat.
Dua, Allah mengganti amalan (gagal) dengan yang lebih baik.
Jika suatu amalan batal, dengan catatan ada kesungguhan dalam melakukannya—misalnya sudah lama diamalkan secara berkesinambungan, telah terazam dalam hati, atau ada ikhtiar sungguh-sungguh lainnya,maka jika amalan itu gagal secara hukum (batal atau tidak sah), Allah menjanjikan akan menggantinya dengan amalan shalih lain yang bahkan lebih memuaskan. Namun, poin ini bisa saja gugur bila dibandingkan dengan sifat keutamaan atau prioritas suatu amalan.
Tiga, menyadari kemakhlukan hamba.
Kondisi tenang atau kesadaran ini penting dibangun: manusia adalah hamba, makhluk Allah, dan sama sekali tidak mendekati keilahian maupun kerobbanian.
Nama-nama-Nya yang indah menunjukkan betapa sempurna Allah, sedangkan manusia sebaliknya,u6selalu lemah, salah, dan penuh kekurangan. Ketergantungan manusia kepada Allah mutlak adanya.
Ketetapan, syariat, serta kebaikan hanya ada di tangan-Nya dan bersifat identik dengan kehendak-Nya. Siapa yang melampaui hal ini akan menjadi setan, bahkan menjadi koordinator bagi mereka yang lalai. Mengabaikan, melawan, atau meremehkan ayat-ayat Allah berarti berjalan di jalan kerugian dan kebinasaan.
Zaman sekarang, fenomena itu dapat tercermin pada maraknya premanisme: mengabaikan etika dan rambu-rambu moralitas masyarakat, menerobos aturan yang berlaku, bahkan hukum formal pemerintah. Senjata mereka adalah berbagai alat dan kesempatan, termasuk memanfaatkan perasaan manusia. Karena itu, kewaspadaan sangatlah diperlukan.
Maka, etika agama sejatinya adalah benteng. Ia mengajarkan untuk segera dalam kebaikan, percaya akan janji Allah dalam mengganti amalan yang gagal, serta selalu rendah hati menyadari kemakhlukan diri. Dengan menjalani ketiganya, manusia terbebas dari kesombongan dan kerugian, sekaligus diarahkan menuju keselamatan dan kemuliaan.
Oleh karena itu, etika agama tidak bisa dipandang sekadar aturan kaku, melainkan panduan hidup yang menyelamatkan manusia. Ia mengajarkan agar kita senantiasa berlomba dalam kebaikan.
Penulis : Nazwar, S. Fil. I., M. Phil. (Penerasi Jogja Sumatera dan Pengasuh Komering Ilir Ngaji).