Mahesa al-Bantani Influencer
TANGERANG.BERITATANGERANG.CO.ID - Di era media sosial, jarak antara jemari dan jeruji bisa sedekat satu unggahan. Kasus Mahesa Albantani, influencer asal Banten, menjadi bukti nyata: komentar yang kelewat batas tak hanya memancing amarah warganet, tapi juga menyeretnya ke hadapan hukum.
Mahesa ditangkap Subdit V Siber Ditreskrimsus Polda Banten pada Minggu dini hari. Konten videonya yang dianggap mencemarkan nama baik seorang kiai memicu laporan dan proses hukum. Satu video berdurasi pendek di TikTok, yang awalnya mungkin diniatkan sebagai kritik pedas, justru berubah jadi pintu masuk ke jerat pidana.
Fenomena seperti ini bukan sekali dua kali terjadi. Di jagat maya, banyak yang lupa bahwa Undang-Undang ITE bukan hanya mitos. Segala bentuk penghinaan, pencemaran nama baik, fitnah, hingga ujaran kebencian, bisa menjadi dasar pelaporan ke kepolisian.
Komentar "ofside", istilah gaul untuk menyebut pernyataan yang melampaui batas kepatutan, kerap muncul dari rasa percaya diri berlebihan di balik layar ponsel. Ada yang merasa aman karena berpikir hanya sedikit orang yang melihat. Ada pula yang sengaja mencari sensasi demi viralitas, tak peduli risiko yang mengintai.
Pada akhirnya, kasus Mahesa menjadi pengingat keras bagi kita semua. Kebebasan berekspresi bukan berarti bebas mencederai nama baik orang lain. Media sosial memang ruang terbuka, tapi jejak digital tak pernah benar-benar hilang—dan bisa saja berakhir menjadi barang bukti.
Karena itu, sebelum menekan tombol “unggah”, mungkin ada baiknya kita bertanya lagi pada diri sendiri: benarkah ini kritik? Ataukah hanya emosi sesaat yang bisa membalikkan nasib menjadi perkara hukum?
Jfr