Oleh: Redaksi
JAKARTA.BERITATANGERANG.CO.ID- Di Indonesia, mencari pekerjaan setelah usia 30 atau 35 tahun seringkali menjadi tantangan tersendiri. Banyak perusahaan secara eksplisit mencantumkan batasan usia dalam iklan lowongan kerja, seolah usia menjadi tolok ukur utama dalam menilai kemampuan seseorang. Praktik ini telah berlangsung lama dan seolah menjadi hal yang lumrah. Padahal, diskriminasi usia dalam perekrutan kerja merupakan bentuk ketidakadilan yang merugikan banyak pencari kerja produktif.
Tak sedikit iklan lowongan kerja yang mensyaratkan pelamar berusia maksimal 25 atau 30 tahun, bahkan untuk posisi yang tidak menuntut kekuatan fisik atau adaptasi teknologi tinggi. Padahal, usia tak selalu menjadi indikator kemampuan atau semangat kerja. Banyak orang berusia 35 tahun ke atas yang justru lebih matang secara emosional, loyal, dan memiliki pengalaman kerja yang mumpuni.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS),pada tahun 2024, tingkat pengangguran terbuka pada kelompok usia 30–44 tahun masih cukup signifikan, salah satunya karena sulitnya bersaing akibat batasan usia yang kerap diberlakukan.
Di negara-negara seperti Amerika Serikat, Inggris, dan Australia, diskriminasi usia dalam pekerjaan dilarang oleh hukum. Di AS, misalnya, Age Discrimination in Employment Act (ADEA) melindungi pekerja berusia 40 tahun ke atas dari perlakuan diskriminatif saat melamar pekerjaan. Di Inggris, pengusaha yang menyaring kandidat berdasarkan usia tanpa alasan kuat bisa dikenai sanksi hukum.
Negara-negara ini menyadari bahwa usia bukanlah penghalang untuk produktivitas. Mereka menekankan kompetensi, pengalaman, dan etos kerja sebagai landasan utama dalam perekrutan tenaga kerja.
Diskriminasi usia bukan hanya merugikan individu, tapi juga negara secara keseluruhan. Ketika individu usia produktif sulit mendapatkan pekerjaan hanya karena faktor umur, potensi ekonomi yang besar menjadi terbuang sia-sia. Hal ini juga bisa meningkatkan angka pengangguran dan beban negara terhadap jaminan sosial.
Selain itu, tekanan psikologis juga menghantui para pencari kerja berusia di atas 30 tahun. Merasa tak lagi dianggap, mereka kerap kehilangan kepercayaan diri dan semangat untuk terus berkembang.
Sudah saatnya Indonesia perlu mengadopsi kebijakan yang lebih progresif dan inklusif. Pemerintah dapat merumuskan regulasi yang mencegah diskriminasi usia dalam rekrutmen, sekaligus mendorong perusahaan untuk fokus pada kompetensi, bukan angka di KTP.
Lebih dari itu, masyarakat juga harus mengubah cara pandangnya. Kita harus berhenti menganggap usia sebagai kelemahan. Justru dengan usia dan pengalaman, seseorang bisa menjadi aset berharga bagi perusahaan.
Kesetaraan kesempatan kerja adalah hak semua orang, bukan hanya milik mereka yang masih muda. Karena pada akhirnya, dunia kerja yang adil adalah dunia kerja yang memberikan ruang bagi siapa pun yang ingin dan mampu berkontribusi—tanpa batasan usia.