Iklan

Istilah 'Uang Damai' Ketika Perdamaian Bergeser Jadi Nominal Rupiah

BERITA TANGERANG
Minggu, 13 Juli 2025
Last Updated 2025-07-13T05:56:42Z
Premium By Raushan Design With Shroff Templates
masukkan script iklan disini



TANGERANG.BERITATANGERANG.CO.ID
- Coba ingat-ingat: berapa sering kita dengar kata “damai” belakangan ini? Bukan dalam konteks dua sahabat yang baikan setelah bertengkar, melainkan kalimat yang sering muncul di pinggir jalan, kantor polisi, sampai meja mediasi:

“Bisa damai aja, kan?”

“Biar cepet, ada uang damai.”


Damai yang asalnya berarti kesepakatan untuk mengakhiri perselisihan, berubah jadi… ya, uang. Tapi sejak kapan sebenarnya kata “damai” dikategorikan sebagai uang? Kenapa ini bisa terjadi?

Mari kita telusuri pelan-pelan, dengan kacamata budaya sekaligus hukum.


Damai dulu adalah niat, sekarang jadi nominal


Secara bahasa, damai punya arti yang indah: keadaan tentram, tidak ada permusuhan, atau kesepakatan yang dicapai secara sukarela antara pihak yang berselisih. Dalam hukum pidana, ada juga istilah “perdamaian” yang bisa terjadi di luar persidangan atau di hadapan hakim untuk perkara-perkara tertentu.


Pada praktiknya, perdamaian sering melibatkan bentuk kompensasi. Misalnya, orang yang menabrak motor secara tidak sengaja memberi biaya perbaikan. Itu wajar, karena memang ada kerugian materi yang harus diganti.


Tapi lama-kelamaan, makna damai yang awalnya soal keikhlasan dan tanggung jawab, bergeser jadi soal: “Bayar berapa supaya masalah selesai?”

Di titik inilah damai seperti dikonversi menjadi uang damai.


Dari budaya lokal ke praktik modern


Budaya lokal di berbagai daerah di Indonesia mengenal konsep penyelesaian sengketa berbasis kearifan lokal: mediasi adat, sidang kampung, musyawarah keluarga. Biasanya, pelaku memberikan tanda perdamaian: kerbau, ayam, kain adat, atau benda lain yang punya nilai simbolis.


Tujuan utamanya bukan soal “berapa mahal”, melainkan sebagai bentuk penghormatan, pengakuan salah, dan jaminan bahwa kejadian serupa tak akan terulang. Proses ini disertai permintaan maaf di depan komunitas, sehingga memulihkan harga diri korban dan keluarganya.

Ketika sistem peradilan modern diterapkan, cara penyelesaian konflik ikut berubah. Segala hal jadi lebih “praktis”: damai diwujudkan bukan lagi lewat sesaji atau simbol adat, tapi uang tunai. Inilah titik awal munculnya istilah “uang damai” yang kita dengar sekarang.


Apa kata hukum?


Dalam hukum Indonesia, kesepakatan damai sebenarnya sah-sah saja. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) mengatur soal dading, yaitu kesepakatan damai antara pihak yang bersengketa. Dading punya kekuatan hukum: setelah ditandatangani, para pihak wajib mematuhinya.

Di hukum pidana, perdamaian juga diakui, meskipun terbatas. Beberapa contoh:

Dalam tindak pidana ringan, seperti penganiayaan ringan, penghinaan ringan, fitnah, atau penistaan yang hanya diancam pidana penjara tidak lebih dari tiga bulan atau denda tertentu, perdamaian dapat menjadi alasan penghentian penuntutan.

Dalam perkara delik aduan (seperti kasus pencemaran nama baik atau perzinahan), pencabutan pengaduan oleh korban (karena sudah berdamai) juga menghentikan proses hukum.


Jadi, secara hukum, “damai” bukan sesuatu yang ilegal. Justru ia adalah mekanisme untuk menyelesaikan perkara secara cepat, adil, dan manusiawi.


Celah penyimpangan ketika damai dijadikan komoditas


Masalah muncul ketika semangat damai berubah: dari niat baik menjadi peluang bisnis.

Di beberapa kasus, kita dengar ada permintaan “uang damai” yang jumlahnya di luar nalar—bukan sekadar ganti rugi, tapi “tarif” supaya proses hukum tak berlanjut.

Di titik ini, uang damai berubah menjadi bentuk pemerasan atau pungli. Misalnya, korban dipaksa berdamai dengan nilai fantastis, atau aparat meminta “uang damai” agar berkas perkara tidak naik ke jaksa.

Inilah penyimpangan yang menyalahi semangat keadilan restoratif yang sebenarnya diatur hukum: tujuan damai harus memulihkan hubungan, bukan memperkaya pihak tertentu.


Makna damai yang hilang


Ketika damai jadi soal hitung-hitungan, kita kehilangan nilai aslinya:


Pengakuan salah secara tulus

Upaya memulihkan kerugian korban

Komitmen untuk memperbaiki hubungan dan mencegah kejadian berulang


Damai bukan lagi proses yang melibatkan hati nurani, melainkan sekadar “transfer” atau “uang tutup mulut”. Padahal, jika maknanya dipertahankan, damai bisa menjadi jalan keluar yang paling manusiawi: tidak saling menjatuhkan, tetapi saling menguat.


Jadi, sejak kapan?


Sulit menentukan tanggal pastinya. Tapi bergesernya damai menjadi “uang damai” adalah buah dari perubahan budaya, sistem hukum modern, dan realitas sosial di mana semua hal diukur dengan uang.


Persoalannya bukan di kata “damai”, melainkan di cara kita memaknai dan mempraktikkannya


Mengembalikan ruh damai


Damai boleh saja melibatkan uang—sebagai kompensasi kerugian. Tapi uang hanyalah sarana, bukan inti.

Inti damai tetaplah keikhlasan, tanggung jawab, dan niat baik memulihkan keadaan.


Mungkin sudah saatnya kita, sebagai masyarakat, penegak hukum, dan para pihak yang berselisih, mengingat lagi: Damai bukan transaksi. Damai adalah niat tulus.



Red

iklan
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Stars Rally to Beat Predators in Winter Classic at Cotton Bowl

Iklan