![]() |
Gambar : Ilusterasi Sumber : Google |
TANGERANG.BERITATANGERANG CO ID – Santet, atau ilmu gaib yang dipercaya bisa mencelakai seseorang dari jarak jauh, masih menjadi bagian dari kepercayaan masyarakat Indonesia. Namun, bagaimana pandangan hukum terhadap praktik yang sulit dibuktikan secara ilmiah ini? Bisa kah pelaku santet dijerat pidana?
Dihimpun dari berbagai sumber, termasuk pendapat ahli hukum dan psikolog forensik, diketahui bahwa hingga saat ini santet tidak diatur secara spesifik dalam KUHP sebagai tindak pidana. Artinya, seseorang tidak bisa langsung dilaporkan ke polisi hanya karena dituduh menyantet orang lain.
“Prinsip hukum kita tidak bekerja berdasarkan keyakinan atau supranatural. Harus ada perbuatan nyata dan bukti yang bisa diverifikasi,” ujar seorang sumber di lingkungan aparat penegak hukum.
Sementara itu, psikolog forensik Reza Indragiri Amriel menjelaskan bahwa kasus santet lebih cocok dipahami dari sisi kejiwaan. Menurutnya, banyak dugaan santet sebenarnya merupakan efek dari autosugesti negatif atau tekanan psikologis.
"Orang yang percaya dirinya disantet bisa sungguh-sungguh merasa sakit, meskipun tidak ditemukan penyebab medis. Ini adalah bentuk gangguan psikosomatis," jelas Reza dalam salah satu diskusi publiknya.
Ia menambahkan, selama tak ada unsur pidana lain seperti ancaman, penganiayaan, atau penipuan, maka aparat hukum tidak bisa memproses laporan soal santet.
Meski demikian, dalam draf RKUHP 2019 sempat dimunculkan pasal terkait jasa kekuatan gaib yang bisa menimbulkan penderitaan. Namun pasal tersebut akhirnya tidak dimasukkan dalam KUHP terbaru yang akan berlaku mulai 2026, karena dinilai terlalu multitafsir dan berpotensi menjadi pasal karet.
Dengan demikian, secara hukum formal, santet tidak bisa dijerat pidana kecuali jika ada bukti tindakan yang menyebabkan kerugian nyata. Aparat tetap menyarankan penyelesaian secara persuasif di masyarakat agar tidak memicu konflik horizontal.
Red