Gambar ilustrasi
TANGERANG.BERITATANGERANG.CO.ID – Dunia jurnalistik dituntut menjaga marwah profesinya sebagai pilar keempat demokrasi. Salah satu prinsip yang kerap dilanggar namun jarang disorot secara serius adalah larangan bagi wartawan untuk merangkap jabatan di lembaga swadaya masyarakat (LSM) maupun organisasi kemasyarakatan (ormas). Praktik ini bukan hanya menimbulkan konflik kepentingan, tetapi juga berisiko mencederai kepercayaan publik terhadap media.
Independensi dan netralitas adalah fondasi utama dalam kerja jurnalistik. Wartawan dituntut untuk menyajikan informasi yang akurat, berimbang, dan bebas dari pengaruh kelompok mana pun. Namun, ketika seorang jurnalis juga berperan aktif sebagai pengurus atau anggota LSM dan ormas, maka batas antara kepentingan jurnalistik dan kepentingan kelompok menjadi kabur.
Salah seorang Tokoh Pers Ilham Bintang, menyebut bahwa wartawan harus menjaga jarak dari semua bentuk kekuatan eksternal yang dapat memengaruhi integritasnya, termasuk LSM dan ormas. "Kita tidak ingin wartawan menjadi corong atau alat propaganda kelompok tertentu. Kalau dia aktif di LSM, bagaimana mungkin dia meliput secara adil jika berhadapan dengan isu yang menyangkut organisasinya sendiri?" ujarnya.
Senada dengan itu,Ketua Komisi Hukum dan Perundang-undangan Pers, Arif Zulkifli, juga menegaskan bahwa wartawan yang merangkap jabatan di LSM atau ormas telah melanggar Kode Etik Jurnalistik (KEJ), khususnya pasal yang menuntut independensi dan bebas dari konflik kepentingan.
“Wartawan tidak boleh terlibat dalam kegiatan yang menjadikannya berpihak. Apalagi sampai membawa nama media untuk kepentingan kelompoknya. Itu mencederai prinsip kerja jurnalistik yang netral dan objektif,” tegas Arif.
Konflik kepentingan ini tidak hanya berdampak pada kredibilitas wartawan, tetapi juga mencoreng reputasi media tempatnya bekerja. Masyarakat akan ragu terhadap keabsahan berita yang disampaikan, terlebih jika konten berita terindikasi berpihak, mengandung promosi tersembunyi, atau bahkan serangan terhadap pihak lain.
Pakar komunikasi dari Universitas Indonesia, Dr. Ratna Sari, menyebut bahwa di era media digital yang serba cepat ini, integritas wartawan menjadi taruhan penting. “Wartawan yang juga aktivis LSM rawan terjebak dalam jurnalisme advokasi yang ekstrem. Publik bisa kehilangan kepercayaan, karena mereka tidak tahu lagi apakah yang dibaca itu berita atau agenda kelompok,” katanya.
Kasus seperti ini juga sering ditemukan di daerah, di mana wartawan sekaligus aktif di ormas atau LSM yang berfungsi sebagai pengawas anggaran, pemantau pilkada, atau pegiat isu-isu lokal. Keterlibatan ganda ini bisa menciptakan relasi yang rumit, bahkan membuka peluang barter informasi, pemerasan, atau konflik terbuka dengan narasumber.
Sebenarnya, regulasi sudah cukup jelas. Dalam Pedoman Perilaku Wartawan dan Kode Etik Jurnalistik yang dikeluarkan Dewan Pers, disebutkan bahwa wartawan dilarang menyalahgunakan profesi untuk kepentingan pribadi, apalagi organisasi eksternal. Bahkan, beberapa organisasi profesi seperti PWI dan AJI memiliki kode etik internal yang lebih tegas soal ini.
Namun, lemahnya pengawasan dan kurangnya penindakan membuat aturan ini kerap diabaikan. Banyak wartawan yang secara terbuka menjadi pengurus LSM atau ormas tanpa sanksi yang jelas.
“Ini masalah struktural di dunia pers kita. Media-media kecil di daerah sering tidak punya kebijakan etika yang kuat. Bahkan ada pemilik media yang juga tokoh LSM atau pengurus ormas. Ini yang bikin bingung, mana batas antara jurnalisme dan aktivisme,” kata Hendra, seorang redaktur media lokal di Banten.
Untuk menjaga kehormatan profesi wartawan, diperlukan penegasan ulang bahwa jurnalisme bukan ruang untuk berpolitik atau berjuang atas nama kelompok. Wartawan yang ingin aktif di LSM atau ormas sebaiknya memilih salah satu peran, bukan menjalankan keduanya sekaligus.
PWI, AJI, IJTI, serta organisasi profesi lain diminta untuk memperketat aturan dan menindak anggota yang terbukti menyalahgunakan profesi. Begitu pula dengan pemilik media, harus berkomitmen menegakkan etika dan menjaga wartawannya tetap independen.
Jika tidak, maka profesi wartawan akan terus dicurigai, dan fungsi kontrol sosial media terhadap kekuasaan akan lumpuh.
“Wartawan adalah mata dan telinga publik. Kalau sudah tidak netral lagi, maka apa yang disampaikan ke publik juga bisa bias,” tutup Dr. Ratna.
Red/Jfr